Perbuatan yang satu ini memang
menyenangkan dan memuaskan bagi pelakunya. Namun tidak demikian bagi yang
kedapatan mendapati efek samping.. eh.. belakangnya. Sekali mak bruut….
sekumpulan orang nongkrong bisa buyar. Menjijikkan memang, tapi sekaligus enak
tiada tara. Buat orang lain baunya bisa bikin muntah, tapi jika itu dicium oleh
si pelakunya, terasa bak mencium aroma Dji sam soe kadar nikotin 30 mg, tanpa
filter…. mak sesss.
Namun meskipun dibenci, di dunia
medis barang yang satu ini kadangkala menjadi barang yang ditunggu-tunggu oleh
pasien. Contohnya pasien pasca operasi. Biasanya dokter baru membolehkan si
pasien minum maupun makan manakala sudah mendapat laporan dari si pasien bahwa
brutunya sudah mengeluarkan barang ghaib ini.
Demikian halnya dalam masalah
kesehatan. Jika seseorang tidak bisa ‘ngebret’ dalam sehari, hampir bisa
dipastikan blodhotnya gak sehat. Perlu diketahui juga, bahwa salah satu yang
ditanyakan kepada pasien yang diduga terkena ileus adalah apakah hari itu
pasien bisa ngenthut apa tidak…
Jadi kenthut dalam hal ini
sebenarnya merupakan suatu nikmat yang diberikan Sang Pencipta kepada kita agar
kesehatan perut kita terjaga. Hanya saja dalam hal pembuangannya perlu
diperhatikan adab tata caranya. Jangan asal ngeden, asal ‘ngobrot’, asal
mbuang, tapi banyak hidung disekitarnya protes.
Masalah kenthut inipun ternyata
diatur juga oleh Rasulullah saw. Yakni manakala ada yang kenthut saat pengajian
bersama Rasul, banyak hadirin yang ngakak terbahak-bahak. Saat itupun
Rasulullah saw menegur mereka yang tertawa. Isi tegurannya adalah, mengapa
mereka menertawakan sesuatu yang sebenarnya tidak pantas ditertawakan? Tapi ini
bukan merupakan dalil bagi si pengenthut agar sembarangan saja mbenjret
dimana-mana tempat. Tapi merupakan pelajaran bahwa tertawa itu harus pada
tempatnya. Sedangkan bagi pengenthut sendiri, tentunya ada pelajaran lainnya.
yakni tidak menyengsarakan pernafasan banyak hidung.
Guru simbah mengajarkan bahwa
kenthut itu merupakan gambaran harta manusia. Yakni tidak semua yang dia miliki
itu harus dikangkangi semua, namun harus ada yang dikeluarkan. Jika tidak
dikeluarkan -dalam hal ini diinfakkan- maka bisa jadi penyakit. Dan kalau sudah
dikeluarkan jangan disebut-sebut lagi alias diundat-undat.
Bayangkan jika tidak kenthut, mesti
bikin tidak sehat. Dan jika sudah mbrojol keluar, jangan disebut! Malahan
biasanya orang yang kenthut akan diem saja manakala ada oknum yang nemu
kenthutnya. Nah infak harta juga begitu. Jika harta kita sudah diinfakkan,
Insya Allah harta kita jadi sehat. Dan jangan pedulikan lagi infak yang sudah
kita keluarkan… biarlah ditemu orang lain agar dimanfaatkan. Merasa malulah
jika kita berkoar-koar bahwa kita sudah infak ini dan itu, sebagaimana malunya
kita sudah kenthut di tengah acara arisan ibu-ibu…..
0 comments:
Post a Comment